Ho Chi Minh City, Vietnam

Duet maut go to Vietnam : Cu Chi & Mekong Delta (Day 2)

Berhubung Jakarta dan HCMC berada dalam zona GMT yang sama, hari ini saya bangun seperti keseharian saja. Setelah beres mandi dan siap-siap, kami mengisi waktu dulu dengan mainan internet atau WA call dengan keluarga masing-masing. Enaknya, walau Kim Khoi ini merupakan hotel kecil, tapi Wi fi-nya ciamik banget, kenceng badai. Ah, inilah balada emak-emak, di satu sisi kepingin me time, tapi kalau sudah video call dengan suami dan anak-anak rasanya pingin cepet pulang aja, pingin mewek, berandai-andai kalau saja ada pintu ke mana saja-nya doraemon. Jam 06.20 kami baru ingat kalau sebentar lagi waktunya breakfast (breakfast mulai dihidangkan 06.30), maka kami buru-buru pergi ke lantai teratas di mana restoran berada. Sebenarnya, jam 06.30 adalah waktunya kami berkumpul di sinh cafe, (walau diberi spare maksimal sampai 06.45), namun kami memutuskan instant breakfast dulu saja, toh dekat, jadi insya allah masih keburu.

Restoran di kim khoi hotel sangat kecil, hanya menampung sekitar 3-4 meja, itupun berdesakan. Restoran masih kosong saat kami tiba, seorang pelayan muda memberikan selembar menu bertuliskan pilihan breakfast, rata-rata simple sih, toast/croisant, omelette/sunny, tapi ada pho juga. Pilihan minumnya coffee atau tea. Sebagai bekas negara jajahan perancis, kuliner vietnam banyak terpengaruh, misalnya saja orang sini gemar makan croissant sebagai sarapan atau camilan. Dari restoran, kami bisa melihat sekilas pemandangan HCMC dari ketinggian, di sini banyak taman umum dan RPTRA lengkap dengan alat-alat fitness-nya.

IMG20170526061828
Taman-taman dan RPTRA

Karena ingin cepat, kami memesan croisant dan omelete, tidak ketinggalan kopi ala vietnam yang penyajiannya sangat khas, dengan wadah silinder dari timah, kopinya turun sedikit-sedikit, walhasil setelah beres makan baru kopi yang terkumpul cukup banyak dan dihabiskan dalam sekali tegukan karena kami harus buru-buru.

Setengah berlari kami bergegas ke sinh cafe, syukurlah masih pas waktu untuk check in (kami diberi kartu boarding pass saat check in), tidak lama kemudian kami dipandu oleh pemandu kami yang namanya Yong, menuju tempat parkir bus, melintasi taman yang kami lihat dari atas restoran tadi. Busnya berwarna putih biru seperti di sinh cafe, tentunya dengan tulisan di badan bus juga. Selain tur yang kami ikuti hari ini, banyak juga tur-tur sinh cafe yang menuju ke destinasi lain, jadi jangan sampai salah masuk ke bus, panduannya ikuti saja si pemandu. Di boarding pass sudah tertera nomor kursi, jadi teratur.

Bus yang kami naiki hanya sekitar 3/4 terisi, selain kami ada keluarga amerika (si bapak amerika keturunan vietnam, dulu waktu perang banyak orang vietnam selatan yang ngungsi ke US dan akhirnya jadi warga sana, si ibu bule asli, bisa ditebak dua anak perempuan ABG-nya cakep-cakep banget), pasangan cowok bule – cewek vietnam (dari da nang), dua opah-opah korea (opah dalam arti sebenarnya ya, bukan oppa, duo opah korea yang tetep heboh dan asik walau ga bisa bahasa inggris), satu cowok asal penang yang jadi sohib kita (tapi saya lupa namanya), 2 suami istri asal china dan 6 daun muda asal HK (eaaa..eaaa). Selama perjalanan, Yong yang berlogat vietnam kental, memperkenalkan diri dan memberikan penjelasan singkat mengenai tur hari ini. Selanjutnya perjalanan selama satu jam itu kami manfaatkan untuk ngobrol ngalor ngidul tiap kali melihat pemandangan di layar bus.

Chu chi tunnel

Chu chi (bacanya gu ci) tunnel merupakan situs bersejarah dari perang vietnam, para vietkong yang termashyur itu dulu menggali terowongan-terowongan dan bunker bawah tanah dalam menetapkan taktik gerilya untuk melawan tentara US. Terowongan tersebut letaknya tersembunyi dan sempit, hanya bisa dilalui oleh satu orang, dan rata-rata dibuat agar pas dengan ukuran tentara vietkong yang bertubuh kecil, sehingga apabila ketahuan pun akan sulit dilalui oleh para tentara US yang berbadan besar. Btw, pemimpin Vietnam kala itu yaitu Uncle Ho, kabarnya mendapatkan ide-ide perangnya dari buku “Fundamentals of Guerilla Warfare” dari jenderal besar A.H. Nasution. Buku ini mengilhami Uncle ho dan para pembesar perangnya, karena medan Vietnam dan Indonesia yang mirip. Buku karangan A.H. Nasution ini memang hebat karena bahkan sampai sekarang di negara-negara luar pun dijadikan salah satu pedoman dalam pendidikan tentara. Chu chi tunnel ini dikerjakan secara gotong royong dengan peralatan sederhana. Chu chi ini hanya terletak di wilayah vietnam selatan yang saat perang didukung oleh US, makanya diperlukan taktik gerilya untuk bisa menyusup.

Lokasi chu chi tunnel sebenarnya ada banyak, namun yang dibuka sebagai spot wisata adalah yang letaknya di Ben Dinh (bacanya ban dan), tidak jauh dari situs ini terletak sungai saigon. Sebelum memasuki chu chi, kami diberi waktu 10 menit untuk ke toilet yang tersedia di area parkir. Sebelum pintu masuk, terdapat peta besar dari situs ini.

IMG20170525101255
Sungai saigon

Dengan dipandu Yong, kami diajak ke suatu ruangan yang berisi selongsong bom raksasa yang dulu dijatuhkan oleh tentara US untuk menggempur wilayah vietkong. Ada juga rak kaca berisi berbagai magasin dan senapan para tentara US.

Selanjutnya kami membeli tiket di loket (biaya belum termasuk dalam paket tur, harganya 109,000 VND) dan melewati sebuah lorong bawah tanah lebar yang dulunya merupakan bagian dari chu chi tunnel, namun sekarang sudah diperkeras dan diberi dinding serta lantai, dan begitu keluar tibalah kami di daerah dusun yang sepi dan kosong.

IMG20170525083623
Lorong bekas chu chi tunnel

Saya dan enggar langsung tergelak karena malah mikir ini tempat kok ya kayak lagi di gunung kidul, beneran mirip banget. Tanahnya keras dan liat, seperti lempung, pantas saja cocok dijadikan terowongan karena lebih padat. Di atasnya tumbuh pohon-pohon bambu yang menjulang dan sejumlah vegetasi khas tropis lainnya. Di sekitarnya tampak beberapa gubuk sederhana beratap bambu seperti lumbung. Udaranya panas dan lembab sekali, pantes dulu tentara US juga nggak betah.

IMG20170525083800
Area chu chi tunnel

Kami digiring menuju suatu bangunan gubuk, ruangannya digali dari permukaan tanah sehingga posisinya berada di dalam tanah, atapnya lah yang rata dengan permukaan tanah. Sepertinya ini memang style gubuk ala vietnam yang dipakai selama perang dulu, meminimalkan penggunaan bahan sehingga tidak memerlukan bata atau bambu sebagai dinding. Di dalam gubuk ini berderet bangku-bangku di mana selama 5 menit kita disuguhi dokumentasi hitam putih perang vietnam, terutama saat penggalian dan penggunaan chu chi tunnel. Setelah itu, seorang pemandu cewek yang berseragam tentara vietkong menjelaskan mengenai sistem chu chi tunnel dengan peraga maket yang tersedia. Saya jadi tahu kalau ternyata terowongan-terowongan ini berhubungan dengan sejumlah bunker yang berfungsi sebagai ruang komando, ruang rapat, dapur dsb. Saya mendadak sesak nafas memikirkan ratusan orang yang harus hidup di bawah tanah yang minim udara, semuanya demi perjuangan.

Setelah itu kami diajak berkeliling melewati sejumlah lubang sempit yang merupakan pintu masuk terowongan yang hampir semuanya dikamuflase mirip dengan tanah atau ditutupi rumput agak tidak ketauan. Kami juga diperlihatkan sejumlah jebakan berpaku-paku yang bikin ngilu, yang sengaja dipasang untuk para tentara US, mulai dari jebakan di lubang, sampai jebakan pintu, akibat jebakan-jebakan ini, dulu banyak tentara US yang terpaksa diamputasi. Ada juga sejumlah patung-patung yang mengenakan seragam hijau vietkong. Ada juga sebuah gubuk berisi diorama pembuatan senjata ala vietkong yang hampir semuanya dibuat dari bahan bekas, misal dari selongsong bom, maklum tentara vietkong sangat miskin, jadi untuk membuat senjata, mereka menggunakan material yang ada. Bahkan sendal-sendal mereka pun dibuat dari karet bekas ban truk atau tank.

Tentara vietkong mengenakan seragam berwarna hijau khaki untuk laki-lakinya  sementara yang perempuan berwarna hitam, sebagai penanda-nya mereka mengenakan syal kotak-kotak hitam putih. Karena menerapkan sistem gerilya, mereka diharuskan cepat menyaru dengan lingkungan, misal saat dikejar-kejar, mereka akan cepat menanggalkan seragam dan berganti dengan pakaian desa lalu berbaur dengan warga sekitar. Hal tersebut yang menyebabkan pasukan US sering bertindak membabi buta membantai satu desa tanpa pandang bulu, tua muda maupun anak-anak, hanya untuk mencari pasukan yang menyamar.

IMG20170525095936
Seragam vietkong

Puncaknya kita diajak merasakan pengalaman berjalan di chu chi tunnel, walaupun cuma di trek pendek (cuma sekitar 20-30 m). Begitu masuk, sensasi klaustrofobik langsung terasa, terowongan yang sempit, gelap dan pekat membuat beberapa pengunjung termasuk enggar (yang agak klaustrofobik) berbalik langkah dan keluar. Saya yang awalnya masih semangat, begitu beberapa meter kemudian juga mulai terserang rasa panik, bagaimana tidak, oksigen yang tipis dan membuat dada sesak seketika menyebabkan khawatir dan kaki lemas, apalagi dengan suasana yang gelap tanoa cahaya. Pingin balik nanggung, akhirnya saya meneruskan langkah, pasrah aja kalau sampai pingsan, syukurlah beberapa menit kemudian terlihat seberkas cahaya yang menandai berakhirnya terowongan. Paru-paru saya langsung lega menenggak udara segar, tidak terbayangkan para tentara vietkong yang dulu harus berjuang bawah tanah ini. Yong menjelaskan bahwa chu chi di ban danh ini masih tergolong mudah, yong bilang bahwa dia pernah mengarungi chu chi di daerah lain yang mengharuskan merangkak dan treknya lebih panjang, sampai guide-nya bilang nih kalo salah belok sedikit aja kita gak bakal bisa keluar.

 

IMG20170525094806
Pintu masuk terowongan

Syukurlah setelah pengalaman klaustrofobik tadi, kami diberi istirahat sambil disuguhi panganan tradisional tentara vietkong yaitu singkong rebus yang makannya dicocol kacang tanah tumbuk serta teh panas pahit.

Setelah itu, pengunjung yang berminat diberi waktu untuk mencoba atraksi menembak, dengan tambahan biaya tentunya. Saya dan enggar memilih duduk-duduk saja sambil melihat-lihat toko souvenir di sampingnya.

#Mekong Delta

Dari chu chi, kami melanjutkan perjalanan menuju mekong delta, cukup jauh juga sekitar 2 jam, rencananya nanti kami akan makan siang di salah satu restoran yang berada di pinggir sungai mekong.

Mendekati area mekong, hujan mulai turun rintik-rintik, dari jendela sudah terlihat sungai mekong yang berwarna kecokelatan. Sungai mekong merupakan sungai besar yang mengalir di tiga negara, yaitu vietnam, kamboja dan thailand. Sungainya lebar dan berarus deras, mirip sungai musi di palembang.

IMG20170525132152
Sungai mekong

Begitu turun dari bus, hujan yang rintik-rintik tadi berubah menjadi deras, segera kami semua berlari menuju salah satu bangunan terbuka di samping dermaga untuk meneduh. Bangunannya kecil dan kotor, hanya tersedia sedikit bangku untuk duduk, udah gitu saat hujannya membesar lama-lama tampias juga. Cukup lama hujan turun, sekitar sejam-an, membuat kami mati gaya, mau ngobrol udah bosen, main hp nggak ada wi-fi, perut juga udah keroncongan. Saat hujan mulai agak kecil, Yong segera mengajak kami untuk segera menaiki kapal kayu bermotor yang sudah disediakan. Kami membeli dulu jas hujan kresek seharga 15,000 VND dari penjaja keliling yang ada di sana. Kapalnya sederhana saja, dipenuhi deretan kursi-kursi kayu dan tanpa penutup samping, jadi pas hujan gini ya lumayan basah walau pakai jas hujan. Perjalanan mengarungi sungai mekong cukup mendebarkan juga, karena arusnya deras, sehingga kapal terobang-ambing dan guncangan nya pun terasa.

15 menit kemudian kapal menepi ke dermaga salah satu restoran, makan siang sudah termasuk dalam harga paket tur. Makan siang diawali dengan spring roll ala vietnam yang proses pembuatannya langsung di depan kita, jadi si mbak pelayan merendam sebentar kulit spring roll, mengisi kulit tersebut dengan ikan gurami, sayuran dan bihun, lalu langsung disajikan kepada para tamu. Kelihatannya mudah membuat spring roll, tapi waktu nyoba sendiri sepulang ke indonesia, ternyata susah, harus cepat mengisi dan melipatnya, karena kalau nggak keburu kering kulitnya. Selanjutnya disajikan nasi dengan tumisan aneka sayur. Sebenarnya sih rada kentang (kenyang tanggung), tapi mau jajan di mana lagi.

Selepas late lunch yang disertai ngobrol-ngobrol ringan antara peserta tur, kami kembali naik kapal mengarungi mekong dan berhenti di suatu daerah di mana sungai bercabang, di salah satu cabang yang kecil, sudah menunggu beberapa sampan yang dikayuh oleh para ibu-ibu. Satu sampan hanya cukup untuk 4 orang + 1 ibu pengayuh, anggota rombongan di-split,  saya dan enggar kebagian bareng si cowok penang plus satu cowok HK. Sampan melewati sungai coklat yang ditumbuhi bakau, tidak terlalu istimewa sih pemandangannya. Di sinilah kami kena #scam01, jadi ceritanya tidak lama setelah sampan dikayuh, si ibu dengan bahasa inggrisnya yang terbata-bata berujar “tips..tips..for me” berulang kali dengan mendesak, setelah berdiskusi singkat, si penang  yang kita dapuk sebagai perwakilan bertanya “how much?”. Si ibu pun menjawab 25,000 VND, kita pun oke-in aja, toh ga mahal-mahal juga. Kita bermaksud membayar tips tersebut saat akan turun saja, tapi si ibu terus mendesak tiada henti sampe bikin sebel, akhirnya kita kumpulkan lah itu duit, saat dikasih si ibu menggeleng “no, 25,000/person”, jiaah, tanpa komplen kita bayar aja, lagi-lagi karena otak nge-kurs-nya ke rupiah, jadi berasa murah (25,000~13.000). Saat turun, si penang komplen ke Yong soal betapa maksanya si ibu, Yong menjelaskan bahwa memberi tips dibolehkan tapi tidak dipatok tarifnya, apalagi segitu mahalnya. Yong pun memarahi si ibu dalam bahasa vietnam, tapi tentu duit yang sudah dikasih tidak bisa ditarik kembali, yah kena scam deh :).

Si penang masih mendongkol dan marah-marah ke Yong, sementara saya dan enggar yang “nrimo ing pandum” langsung melenggang saja mengikuti rombongan melalui sebuah gang sempit hingga tiba di sebuah kedai minum kecil. Di meja sudah disediakan teh madu dan buah-buahan tropis untuk kami, sambil menikmati sajian tersebut, kami disuguhi penampilan penyanyi dengan alat musik tradisional vietnam. Kali ini kami semeja dengan 2 opah asal korea dan penang (lagi), opah korea ini hebat lho, padahal bahasa inggrisnya aja patah-patah banget dan bahkan hampir bisa dikatakan minim, tapi mereka berani aja jalan cuma berdua. Sering percakapan kami agak gantung karena si opah tidak paham :). Lagu tradisional vietnam dibawakan dengan suara sengau, musiknya agak mirip-mirip china tapi dengan sedikit aksen berbeda. Setelah membawakan dua lagu, si penyanyi mengedarkan kotak angpau, sang opah korea berbaik hati  membayarkan tips untuk meja kami.

Dari sini kami naik delman yang saisnya lagi-lagi seorang ibu-ibu, kali ini kami konsultasi dulu ke Yong soal tips agar tidak kena scam lagi. Turun dari delman, kami dipandu melewati jembatan menuju ke pabrik “coconut candy”. Pabrik ini merupakan pabrik tradisional, di mana alat-alat yang digunakan pun masih sederhana, mulai dari proses pemecahan kelapa, penyulingan hingga pengemasannya masih dengan mesin sederhana seperti di pasar. Kondisi pabrik pun merupakan home industry, dengan tingkat kebersihan yang “begitulah”. Kami diberikan sample permen untuk dicoba, walau daripada dikatakan permen, malah lebih cocok dibilang dodol, soalnya lengket banget. Kami membeli 6 pak permen seharga 10,000 VND sebagai oleh-oleh. Selain permen, di sini juga menjual beberapa cinderamata ataupun wine cobra yang bisa dicoba dulu sample-nya (tentu kami nggak ikutan). Kelar ke pabrik, berakhirlah kunjungan ke mekong delta hari ini. Overall cukup seru, walaupun  bagi orang indonesia saat ke mekong delta tak ubahnya seperti pulang kampung, tapi tetap berbeda dan memberi pengalaman baru. Kunjungan satu hari chu chi tunnel+mekong delta patut dicoba, meski agak terburu-buru , awalnya dulu rata-rata kunjungan hanya satu tempat per hari. Pukul 6 sore, sampailah kami di depan kantor sinh cafe kembali.

Malaysian Street & Ben Thanh Night Market

Setelah lumayan capek dengan aktivitas seharian tadi, selepas shalat isya kami baru menyeret kaki menuju ke malaysian street untuk makan malam. Aslinya jalanan ini bernama nguyen an ninh, letaknya di samping ben thanh market, namun karena ramai dihuni oleh para warga vietnam keturunan malaysia yang banyak membuka restoran, maka jalan ini kondang juga disebut malaysian street.

Kalau menurut si penang (yang menginap daerah sini) makanan di sini rata-rata mahal, tapi berhubung kami berprinsip halal itu penting, jadi ya gapapalah. Kami masuk ke salah satu kedai malaysia yang pelayannya bercadar, selain menyajikan masakan malaysia, mereka juga menyediakan pho dan spring roll.

Dari malaysian street, kami berjalan sedikit ke ben thanh night market, pasar malam yang dibuka di samping ben thanh. Kebanyakan yang dijual adalah souvenir seperti t-shirt, tas, dompet, gantungan kunci dll. Agar di hari terakhir nanti kami nggak kebanyakan belanja, maka malam ini sengaja dicicil sedikit dengan membeli kaus untuk oleh-oleh. Nawarnya harus agak sadis, misalnya saja kaus yang kami beli awalnya diberi harga 100,000 VND, tentu kami tawar 1/3-nya, walaupun awalnya ditolak, tapi akhirnya dipanggil lagim jadi akhirnya kami mendapat kaus seharga 100,000/3 pcs. Kualitasnya memang standar, sejujurnya tipis banget, tapi lumayan lah untuk oleh-oleh.